PT
Freeport Indonesia atau yang disebut juga PTFI adalah sebuah perusahaan afiliasi
dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PT Freeport Indonesia menambang,
memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga,
emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di kabupaten Mimika, provinsi
Papua, Indonesia. Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung
tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.
PTFI
mulai beroperasi di bumi pertiwi sejak tahun 1967 menanggapi peraturan
Undang-undang Modal Asing No. 1 Tahun 1967 yang dikeluarkan pemerintah
Indonesia. PTFI yang didirikan dengan akta notaris nomor 102 tanggal 26
Desember 1991,surat keputusan Menteri Kehakiman nomor c2-8171.HT.01.01.TH.91 tanggal 27 Desember 1991 yang
berarti tunduk dan patuh pada semua ketentuan hukum yang berlaku di Republik
Indonesia.
Masalah
PTFI
Di sisi lain, pemiskinan terus berlangsung di wilayah Mimika. Kesejahteraan
penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang
ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar
penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas
yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi,
aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta
menimbulkan pelanggaran HAM.
Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan, seperti
HIV/AIDS. Tercatat, jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS Indonesia berada di
Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang
terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia pada masa lalu dan kini.
Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius
oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan, pemerintah terkesan ‘buta’ .
Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka
kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di
mana Freeport berada, terdiri atas 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Hampir
seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua.
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada
sektor pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50 persen lebih PDRB Papua
berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumber daya alam tidak
terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah
dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang
kronik bagi wilayah Papua ke depan.
Pada tahun 2005 terlihat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua menempati
peringkat ke 3 dari 30 provinsi di Indonesia. Namun, Indeks Pembangunan Manusi
(IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan
balita karena masalah-masalah kekurangan gizi, berada di urutan ke-29. Lebih
parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi
pertambangan Freeport.
Belum lagi
dengan kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat aktifitas PTFI tersebut
telah melanggar UU No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup pemerintah menganggap
enteng persoalan tersebut sehingga tidak adanya ketegasan sikap dari
pemerintah.
Undang-undang
yang mengatur PTFI
Pemerintah
tidak boleh terus membiarkan ketidakadilan ini. Karena itu, langkah berikutnya
adalah pemerintah harus percaya diri mengkaji ulang dan mengoreksi kebijakan
serta isi Kontrak Karya Freeport. Kontrak Karya dengan Freeport harus diubah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Undang-undang
ini memerintahkan agar seluruh Kontrak Karya yang
beroperasi di Indonesia sebelum UU ini terbit, harus disesuaikan. Secara
spesifik, Pasal 169 butir b pada Bab Peralihan telah mengamanatkan agar
isi Kontrak Karya, tanpa terkecuali Kontrak Karya Freeport, agar disesuaikan
dengan isi UU tersebut paling lambat satu tahun sejak UU disahkan. Dan ini
adalah perintah UU. Karena itu, pemerintah harus percaya diri mengubah isi Kontrak Karya Freeport.
Pemerintah yang tidak melaksanakan perintah UU tidak layak dipertahankan.
Adapun UU yang mengatur tentang larangan
ekspor mineral mentah sehingga mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter
sendiri di Indonesia yang tertera pada Pasal 102 dan Pasal 103 UU Nomor 4 tahun
2009 namun
sepertinya pemerintah hanya membuat Uunya saja tanpa realisasi sehingga PTFI
masih dapat mengekspor mineral mentahnya meskipun dengan kenikan BEA keluar yakni
20-60 persensesuai dengan kadar konsentrat yang diekspor.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar