Rabu, 01 April 2015

PEMERINTAH MENGANGGAP ENTENG PERSOALAN PTFI




PT Freeport Indonesia atau yang disebut juga PTFI adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di kabupaten Mimika, provinsi Papua, Indonesia. Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.
PTFI mulai beroperasi di bumi pertiwi sejak tahun 1967 menanggapi peraturan Undang-undang Modal Asing No. 1 Tahun 1967 yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. PTFI yang didirikan dengan akta notaris nomor 102 tanggal 26 Desember 1991,surat keputusan Menteri Kehakiman nomor c2-8171.HT.01.01.TH.91 tanggal 27 Desember 1991 yang berarti tunduk dan patuh pada semua ketentuan hukum yang berlaku di Republik Indonesia.

Masalah PTFI

Di sisi lain, pemiskinan terus berlangsung di wilayah Mimika. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.
Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan, seperti HIV/AIDS. Tercatat, jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS Indonesia berada di Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia pada masa lalu dan kini. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan, pemerintah terkesan ‘buta’ .
Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri atas 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua.
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50 persen lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumber daya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua ke depan.
Pada tahun 2005 terlihat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua menempati peringkat ke 3 dari 30 provinsi di Indonesia. Namun, Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi, berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
Belum lagi dengan kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat aktifitas PTFI tersebut telah melanggar UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pemerintah menganggap enteng persoalan tersebut sehingga tidak adanya ketegasan sikap dari pemerintah.

Undang-undang yang mengatur PTFI

Pemerintah tidak boleh terus membiarkan ketidakadilan ini. Karena itu, langkah berikutnya adalah pemerintah harus percaya diri mengkaji ulang dan mengoreksi kebijakan serta isi Kontrak Karya Freeport. Kontrak Karya dengan Freeport harus diubah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Undang-undang ini memerintahkan agar seluruh Kontrak Karya yang beroperasi di Indonesia sebelum UU ini terbit, harus disesuaikan. Secara spesifik, Pasal 169 butir b pada Bab Peralihan telah mengamanatkan agar isi Kontrak Karya, tanpa terkecuali Kontrak Karya Freeport, agar disesuaikan dengan isi UU tersebut paling lambat satu tahun sejak UU disahkan. Dan ini adalah perintah UU. Karena itu, pemerintah harus percaya diri mengubah isi Kontrak Karya Freeport. Pemerintah yang tidak melaksanakan perintah UU tidak layak dipertahankan.
Adapun UU yang mengatur tentang larangan ekspor mineral mentah sehingga mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter sendiri di Indonesia yang tertera pada Pasal 102 dan Pasal 103 UU Nomor 4 tahun 2009 namun sepertinya pemerintah hanya membuat Uunya saja tanpa realisasi sehingga PTFI masih dapat mengekspor mineral mentahnya meskipun dengan kenikan BEA keluar yakni 20-60 persensesuai dengan kadar konsentrat yang diekspor.

Sumber :